Sejarah telah mencatat bahwa peradaban manusia terbentuk melalui rentang waktu dan rentetan peristiwa yang sangat panjang, termasuk di dalamnya para tokoh-tokoh sejarah. Kemajuan peradaban tidak lain merupakan hasil daya cipta, rasa dan karsa manusia itu sendiri yang mengalami gesekan-gesekan kultural. Gesekan-gesekan kultural inilah yang semakin memperkaya kebudayaan itu sendiri. Karena tanpa adanya gesekan kultural niscaya sebuah peradaban akan menjadi stagnan.
Penyebaran agama Islam disamping dilaksanakan melalui cara-cara damai, juga dilakukan melalui ekspansi-ekspansi ke luar wilayah Islam. Model penyebaran ini sangat “mujarab” dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam. Model penyebaran Islam melalui ekspansi membawa implikasi positif yang sangat besar, karena tujuan luhur dari ekspansi Islam adalah untuk menyebarkan ajaran Islam yang egaliter, cinta damai, cinta keadilan, dan merupakan rahmat seluruh alam. Model penyebaran Islam melalui ekspansi juga meninggalkan atsar (bekas) bagi wilayah sasaran ekspansi itu sendiri. Baik berupa materi maupun nonmateri.
Penyebaran agama Islam disamping dilaksanakan melalui cara-cara damai, juga dilakukan melalui ekspansi-ekspansi ke luar wilayah Islam. Model penyebaran ini sangat “mujarab” dalam memperluas wilayah kekuasaan Islam. Model penyebaran Islam melalui ekspansi membawa implikasi positif yang sangat besar, karena tujuan luhur dari ekspansi Islam adalah untuk menyebarkan ajaran Islam yang egaliter, cinta damai, cinta keadilan, dan merupakan rahmat seluruh alam. Model penyebaran Islam melalui ekspansi juga meninggalkan atsar (bekas) bagi wilayah sasaran ekspansi itu sendiri. Baik berupa materi maupun nonmateri.
Di Indonesia, terdapat teori saluran dan cara yang digunakan dalam penyebaran agama Islam. Saluran dan cara itu adalah melalui perdagangan, pernikahan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik. Dari masing-masing saluran ini terjadi proses akulturasi antara budaya Islam yang diusung oleh para penyebar agama Islam dengan budaya masyarakat Indonesia.
Demikian halnya dengan proses akulturasi kalender Hijriah dengan kalender Jawa. Dalam perkembangannya Islam di Indonesia banyak mengalami benturan-benturan dan gesekan-gesekan dengan budaya-budaya pra Islam yang telah mengurat akar di Indonesia, yakni budaya Hindu-Budha. Berbagai tradisi dan budaya Hindu-Budha mulai terakulturasi dengan nilai-nilai Islam saat Islam masuk ke Jawa mulai abad ke-13. Akulturasi ini makin kuat ketika Walisongo menjalankan dakwah Islam di Jawa mulai abad ke-15.
Kalender Hijriah
Hijriyah atau sanah hijriyah berasal dari kata hijrah (pindah) yang disandarkan pada huruf ya’ nisbat
yang dinisbatkan pada kata sanah (tahun). Hijriyah berarti tahun yang dihitung sejak hijrah Nabi saw. dari Mekah ke Madinah. Perintah hijrah ini turun ketika kafir Quraisy sedang gencar-gencarnya melakukan intervensi pada Nabi saw. dan para pengikutnya. Sehingga turunlah ayat perintah untuk
melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (Qs. al-Isra’:76, Qs. an-Nisa’:97). Namun, bukan karena serangan kafir Quraisy yang menjadi motif Nabi saw. dan para sahabatnya melakukan hijrah, akan tetapi hijrah tersebut dilakukan semata-mata karena perintah Allah swt.
yang dinisbatkan pada kata sanah (tahun). Hijriyah berarti tahun yang dihitung sejak hijrah Nabi saw. dari Mekah ke Madinah. Perintah hijrah ini turun ketika kafir Quraisy sedang gencar-gencarnya melakukan intervensi pada Nabi saw. dan para pengikutnya. Sehingga turunlah ayat perintah untuk
melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah (Qs. al-Isra’:76, Qs. an-Nisa’:97). Namun, bukan karena serangan kafir Quraisy yang menjadi motif Nabi saw. dan para sahabatnya melakukan hijrah, akan tetapi hijrah tersebut dilakukan semata-mata karena perintah Allah swt.
Sebelum datangnya Islam, di tanah Arab dikenal sistem kalender berbasis campuran antara bulan (qomariyah) dan matahari (syamsiyah). Peredaran bulan digunakan, dan untuk mensinkronkan dengan musim dilakukan penambahan jumlah hari (interkalasi).Pada waktu itu, belum dikenal penomoran tahun. Sebuah tahun dikenal dengan nama peristiwa yang cukup penting di tahun tersebut. Misalnya, tahun dimana Muhammad lahir, dikenal dengan sebutan “Tahun Gajah”, karena pada waktu itu terjadi penyerbuan Ka’bah di Mekkah oleh pasukan gajah yang dipimpin oleh Abrahah, Gubernur Yaman (salah satu propinsi Kerajaan Aksum, kini termasuk wilayah Ethiopia).
Pada era kenabian Muhammad, sistem penanggalan pra-Islam digunakan. Pada tahun ke-9 setelah Hijrah, turun ayat 36-37 Surat At-Taubah yang melarang menambahkan hari (interkalasi) pada sistem penanggalan.
Akhirnya, pada tahun 638 M (17 H), tepatnya 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Sebuah asumsi menyatakan bahwa ada sebuah kritik yang ditujukan terhadap pemerintahan khalifah ke-2 Islam ini. Hal ini disebabkan karena pemerintahan khalifah Umar bin Khattab dalam menyebarkan surat kenegaraannya tidak mencantumkan tahun.
Dari kritik inilah pemerintahan khalifah Umar Umar bin Khattab bermusyawarah dan akhirnya berijma’ menjadikan momentum hijrah Nabi sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam.
Penentuan awal patokan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan September 622 M. Dokumen tertua yang menggunakan sistem Kalender Hijriah adalah Papirus di Mesir pada tahun 22 H.
Akhirnya, pada tahun 638 M (17 H), tepatnya 6 tahun setelah wafatnya Nabi Muhammad, khalifah Umar bin Khattab menetapkan awal patokan penanggalan Islam adalah tahun dimana hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Sebuah asumsi menyatakan bahwa ada sebuah kritik yang ditujukan terhadap pemerintahan khalifah ke-2 Islam ini. Hal ini disebabkan karena pemerintahan khalifah Umar bin Khattab dalam menyebarkan surat kenegaraannya tidak mencantumkan tahun.
Dari kritik inilah pemerintahan khalifah Umar Umar bin Khattab bermusyawarah dan akhirnya berijma’ menjadikan momentum hijrah Nabi sebagai awal mula perhitungan tahun dalam Islam.
Penentuan awal patokan ini dilakukan setelah menghilangkan seluruh bulan-bulan tambahan (interkalasi) dalam periode 9 tahun. Tanggal 1 Muharam tahun 1 Hijriah bertepatan dengan tanggal 16 Juli 622, dan tanggal ini bukan berarti tanggal hijrahnya Nabi Muhammad. Peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad terjadi bulan September 622 M. Dokumen tertua yang menggunakan sistem Kalender Hijriah adalah Papirus di Mesir pada tahun 22 H.
Sejarah mencatat sebenarnya banyak peristiwa penting yang dapat dijadikan awal mula perhitungan tahun Islam ini. Seperti tahun kelahiran nabi, tahun saat beliau diangkat menjadi nabi, tahun terjadinya perang Badar, tahun terjadinya haji wada’ (perpisahan) atau tahun wafatnya Rasullullah SAW. Tapi mengapa yang dipilih adalah tahun dimana nabi hijrah?
Dari Abdullah ibn ‘Umar ra. berkata: Telah bersabda Rasulullah saw: “Sebaik-baik orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah SWT”. (HR. al-Tabarany dan Sahih menurut Syekh Nashiruddin Al Albany).
Secara harfiah, hijrah berarti perpindahan dari satu negeri ke negeri lainnya. Dan dari sejarah, hijrah yang dimaksud adalah keberangkatan Rasulullah SAW beserta sahabatnya dari Mekkah ke Madinah. Namun makna hijrah yang lebih penting lagi adalah saat dimana Rasulullah membangun peradaban Islam, yang kelak akan mencapai kejayaannya. Saat di mana umat Islam secara resmi menjadi sebuah badan hukum yang berdaulat, diakui keberadaannya secara hukum internasional.
Berlandaskan hal-hal tersebut, pemerintahan khalifah Umar bin Khattab akhirnya menetapkan tahun peristiwa tersebut sebagai tahun pertama Hijriah. Perhitungan ini bukanlah sebuah sistem yang sentimental, tetapi merupakan sistem yang mempunyai kedalaman agama dan peristiwa sejarah yang penting. Karena hijrah merupakan pengorbanan untuk sebuah kebenaran atas wahyu. Hijrah merupakan perintah ilahiah. Allah menginginkan manusia untuk memperjuangkan kebenaran. Dan tahun Islam mengingatkan kaum muslim bahwa pada setiap tahun bukan terhadap kemenangannya, tetapi akan banyaknya pengorbanan yang sama seperti yang telah dilakukan kaum Muhajirin dan Anshar itu.
Kalender Jawa dan Akulturasinya Dengan Kalender Islam
Tahun Jawa disebut juga tahun Saka yang memberlakukan perhitungan berdasarkan peredaran bulan sebagaimana kalender Hijriah. Dalam kalender Jawa ini terdapat perputaran waktu khusus (siklus) yaitu Windu, Pasaran, Selapan dan Wuku. Kalender yang merupakan perpaduan Jawa asli dan Hindu, dengan nama tahunnya Saka, dipakai oleh orang Jawa sampai tahun 1633 M. Setelah Islam masuk, banyak istilah yang diubah menjadi istilah Islam. Nama hari pada kalender umum di Indonesia dari Ahad sampai Sabtu juga istilah dari Islam.
Pada jaman Kerajaan Mataram, kalender Jawa Islam dibuat yang merupakan sebuah kalender perpaduan antara budaya Islam, budaya Hindu-Budha Jawa dan bahkan juga sedikit budaya Barat. Kalender ini dikenal pula dengan Kalender Jawa Sultan Agungan.
Pada tahun 1625 Masehi, Sultan Agung menyebarluasakan agama Islam di pulau Jawa dalam suatu wadah negara Mataram memprakarsai untuk mengubah penanggalan Saka. Sebuah tesis menyatakan bahwa agar penyebaran agama Islam itu tidak memunculkan konflik, maka lewat budayalah penyebaran itu dilakukan. Hal itu sudah dimulai oleh para wali sejak pemerintah Kasultanan Demak pada beberapa dekade sebelumnya.
Pada saat Sultan Agung Hanyakrakusuma bertahta, raja Mataram yang terkenal patuh beragama Islam itu mengubah kalender di Jawa secara revolusioner. Pada waktu itu kalender Saka sudah berjalan sampai akhir tahun 1554. Angka tahun 1554 itu diteruskan dalam kalender Sultan Agung dengan angka tahun 1955, padahal dasar perhitungannya sama sekali berlainan. Kalender Saka mengikuti sistem syamsiyah, yaitu perhitungan perjalanan bumi mengitari matahari. Sedangkan kalender Sultan Agung mengikuti sistem qomariyah, yakni perjalanan bulan mengitari bumi seperti pada kalender Hijriah.
Perubahan kalender di Jawa itu dimulai hari Jum’at Legi, tanggal 1 Sura tahun Alip 1555 bertepatan dengan tanggal 1 Muharam tahun 1043 Hijriah, atau tanggal 8 Juli 1633. Kebijakan Sultan Agung itu dipuji sebagai tindakan seorang muslim dengan kemahirannya yang tinggi dalam ilmu falak. Kalender Sultan Agung adalah suatu karya raksasa.
Tindakan Sultan Agung tidak hanya didorong oleh maksud memperluas pengaruh agama Islam. Tetapi didorong pula oleh kepentingan politiknya. Dengan mengubah kalender Saka menjadi kalender Jawa yang berdasarkan sistem qomariyah seperti kalender Hijriah, Sultan Agung bermaksud memusatkan kekuasaan agama kepada dirinya. Di samping itu, tindakan mengubah kalender pun mengandung maksud untuk memusatkan kekuasaan politik pada dirinya dalam memimpin kerajaan.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit, berdirilah kerajaan Demak dengan Raden Patah sebagai raja yang bergelar Sultan Syah Alam Akbar. Sang prabu yang beragama Islam itu dinobatkan oleh Sunan Giri, seorang waliyullah yang tertua di Jawa. Bahkan dengan dalih pengamanan, Sunan Giri mengawali kerajaan Demak dengan memegang tampuk pimpinan selama 40 hari. Selanjutnya raja-raja di Jawa ditradisikan memperoleh restu Sunan Giri atau dinobatkan oleh wali tertua ini.
Gelar Sunan Giri itu turun temurun. Yang menobatkan Raden patah menjadi Raja Demak adalah Sunan Giri I. Restu atau penobatan raja-raja Jawa seterusnya dilakukan oleh Sunan Giri pula, keturunan langsung dari Sunan Giri I. Di jaman Sultan Agung, kewalian Giri sudah sampai dengan yang keempat di bawah pimpinan Sunan Giri IV.
Gelar Sunan Giri itu turun temurun. Yang menobatkan Raden patah menjadi Raja Demak adalah Sunan Giri I. Restu atau penobatan raja-raja Jawa seterusnya dilakukan oleh Sunan Giri pula, keturunan langsung dari Sunan Giri I. Di jaman Sultan Agung, kewalian Giri sudah sampai dengan yang keempat di bawah pimpinan Sunan Giri IV.
Kewalian Sunan Giri sebagai pemimpin Islam tertinggi di pulau Jawa diakui sepenuhnya oleh masyarakat, bahkan pengaruhnya sampai di luar pulau Jawa. Pada tahun 1629 di jaman Sultan Agung, masih ada utusan Sunan Giri yang datang di pulau Hitu untuk melestarikan persahabatannya dengan rakyat di kepulauan Maluku itu.
Pengaruh Sunan Giri itu diketahui oleh Sultan Agung. Meski demikian, pada waktu Sultan Agung naik tahta kerajaan Mataram, beliau tidak mohon restu kepada raja pendeta di Giri itu seperti halnya sultan-sultan terdahulu.
Sultan Agung sejak bertahta selalu menghadapi pemberontakan-pemberontakan. Para adipati dan bupati di Jawa Timur sampai Blambangan yang berkiblat pada Sunan Giri, tidak mau tunduk kepada Sultan Agung. Dengan demikian, Sultan Agung adalah raja Jawa yang paling banyak mendapat lawan dengan berperang, termasuk dalam usahanya menyerang VOC Belanda di Jakarta pada tahun 1628 dan 1629.
Pengaruh Sunan Giri itu diketahui oleh Sultan Agung. Meski demikian, pada waktu Sultan Agung naik tahta kerajaan Mataram, beliau tidak mohon restu kepada raja pendeta di Giri itu seperti halnya sultan-sultan terdahulu.
Sultan Agung sejak bertahta selalu menghadapi pemberontakan-pemberontakan. Para adipati dan bupati di Jawa Timur sampai Blambangan yang berkiblat pada Sunan Giri, tidak mau tunduk kepada Sultan Agung. Dengan demikian, Sultan Agung adalah raja Jawa yang paling banyak mendapat lawan dengan berperang, termasuk dalam usahanya menyerang VOC Belanda di Jakarta pada tahun 1628 dan 1629.
Dalam memimpin kerajaan Mataram dan menghadapi pemberontakan-pemberontakan, Sultan Agung bersiasat mengupayakan agar kepercayaan rakyat terpusat penuh kepada dirinya. Usaha ini tidak saja dengan memenangkan perang dan menundukkan para pemberontak, tetapi juga meliputi kekuasaan di dalam agama Islam yang amat dipatuhinya. Sultan Agung menggalang kekuasaan mutlak agar kekuasaan keagamaan pun berpusat pada dirinya.
Siasat itu dilancarkan dengan memerangi kewalian Giri yang diakui seluruh negeri sebagai pimpinan agama Islam tertinggi. Dengan bantuan Pangeran Pekik dari Surabaya dengan istrinya Ratu Pandansari (adik Sultan Agung), tentara Giri dapat dikalahkan kemudian keluarganya diboyong ke Mataram.
Tindak lanjut dari Sultan Agung dalam memusatkan kepercayaan rakyat kepada dirinya adalah dengan mengubah kalender di Jawa, disesuaikan dengan kalender Hijriah. Ide raksasa itu didukung oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya yang menguasai ilmu falak atau perbintangan. Maka diciptakanlah kalender Jawa yang disebut juga kalender Sultan Agung atau Anno Javanico.
Tindak lanjut dari Sultan Agung dalam memusatkan kepercayaan rakyat kepada dirinya adalah dengan mengubah kalender di Jawa, disesuaikan dengan kalender Hijriah. Ide raksasa itu didukung oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya yang menguasai ilmu falak atau perbintangan. Maka diciptakanlah kalender Jawa yang disebut juga kalender Sultan Agung atau Anno Javanico.
Dari paparan singkat sejarah di atas, dapat dipahami bahwa di samping adanya motif agama, motif politik juga menjadi motor utama yang memicu terjadinya akulturasi kalender Islam dengan kalender Jawa. Hasil akulturasi dari dua jenis kalender ini masih digunakan dan masih bisa dirasakan manfaatnya hingga saat ini.
===================
Daftar Pustaka
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. PT. Ichtiar Baru van Hoeve. Jakarta. 2001.
Hitti, Philip K. History of The Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Mufrodi, Ali. Islam di Kawasan Kebudayaan Arab. Logos. Jakarta. 1997.
Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2003.
Purwadi, Dr., M.Hum. Sistem Tata Negara Kerajaan Mataram dalam Jurnal Konstitusi. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta. Vol. 4. No. 1. Maret 2007.
http://www.don’t let the hope gone.com
http://www.halaman putih.com
http://www.wikipedia indonesia.com
Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 1998.