“Bu, pokoknya besok aku harus didaftarkan mondok” kata seorang anak kepada ibunya. Sang ibu terkejut seraya berkata, “Lho??? Nak, mondok itu harus dipersiapkan segala kelengkapan dan kebutuhannya”. Dengan nada sedikit ngotot sang anak berkata, “Pokoknya besok aku harus sudah dimondokkan, aku kemarin sudah mendaftar sekolah formal di sana, beberapa persyaratan pendaftaran pun sudah kulengkapi, tinggal mondoknya belum” jawab sang anak.
Inilah sekelumit perbincangan yang terjadi antara salah seorang keponakan saya dengan ibunya yang tidak lain adalah kakak perempuan saya. Kakak saya begitu terkejut dan heran dengan desakan dari putra keduanya yang tiba-tiba meminta untuk segera dimondokkan di sebuah pesantren di Pasuruan. Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, kenapa harus pesantren jadi tempat belajar???
Dalam tulisan singkat ini akan dipaparkan sekelumit tentang pesantren dan pilar-pilar yang membangunnya, dan gambaran proses pembelajaran yang terjadi di dalamnya, serta kelebihan-kelebihan yang ada dalam pembelajaran tersebut.
Pilar-pilar dan Proses Pembelajaran di Pesantren
Secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pada aspek moral dalam kehidupan bermasyarakat. (Fenomena, 2005:72)
Setidak-tidaknya ada beberapa aspek yang membangun sebuah pesantren sebagaimana dipaparkan oleh Gus Dur dalam bukunya Pesantren Masa Depan, yaitu kyai, santri dan masjid. Dalam pendapat lain disebutkan, ada lima unsur yang membangun pesantren, yaitu kyai, santri, masjid, pondokan dan kitab kuning.
Kyai, sebagai pimpinan pesantren. Kyai tidak hanya menjadi sumber pengetahuan yang ditimba oleh para santri. Akan tetapi, lebih dari itu seorang kyai juga menjadi panutan teladan (uswah hasanah) bagi para santri dan masyarakat. Bahkan, kyai juga menjadi orang tua kedua bagi para santri, yang dalam bahasa pesantrennya lebih umum dikenal sebagai abu ar-ruuh (bapak ruhani) yang selalu menjadi motivasi dan spirit bagi santri untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dan meningkatkan kemampuan diri, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Di samping itu, satu hal lagi yang tidak kalah penting dari seorang kyai, yaitu kekuatan do’a. Jika kyai dianalogikan sebagai orang tua kedua (abu ar-ruuh), maka sudah pasti do’a seorang kyai untuk santrinya akan dikabulkan oleh Allah swt. Karena do’a orang tua untuk anaknya, bagaikan do’a seorang nabi untuk umatnya. Apalagi seorang kyai – dalam pandangan umum – adalah orang yang dekat dengan Allah swt. tentunya do’anya mudah untuk dikabulkan oleh-Nya.
Santri, sebagai penerima transformasi keilmuan dari kyai. Santri menjadi subyek penggodokan karakter dan life skill kyai dan pesantrennya yang kelak ketika kembali ke masyarakat juga akan menjadi transformer pengetahuan baik praksis maupun teoritis, sekaligus sebagai agent of change.
Secara umum, santri terbagi menjadi dua; santri kalong dan santri biasa. Jika santri biasa adalah santri yang tinggal di bilik-bilik pesantren, maka santri kalong adalah santri yang berangkat dari rumah ke pesantren untuk mengikuti rutinitas pendidikan dan pulang ke rumahnya setelah rutinitas pendidikan tersebut selesai.
Masjid dalam pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah akan tetapi juga sebagai pusat transformasi pengetahuan. Hal ini bisa dilihat pada masa Nabi saw. bagaimana beliau memposisikan masjid yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja. Berbagai kegiatan kepesantrenan seringkali dipusatkan di masjid. Sebagai contoh muhadhoroh (pidato, ceramah), jam’iyah diba’iyah, halaqoh (kelompok belajar), syawir (musyawarah, diskusi), dan berbagai kegiatan kepesantrenan lainnya.
Pondokan sebagai salah satu unsur pesantren merupakan sebuah tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal para santri yang menetap untuk waktu yang lama. Dalam pondokan interaksi sosial yang begitu akrab terjadi setiap hari secara inten. Rasa kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan begitu kuat, yang sangat terasa mulai dari kegiatan sholat, pengajian, belajar, sekolah, masak, makan. Sehingga untuk membangun sebuah persahabatan yang sangat erat, seakan-akan hanyalah pesantren tempatnya. Rasa kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan ini yang menjadikan banyak para santri seakan terlupa bahwa mereka jauh dari kampung halaman, orang tua dan keluarga, bahkan karena suasana ini pula yang menjadikan mereka betah berlama-lama belajar di pesantren.
Literatur-literatur klasik di pesantren memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan keilmuan dan pengetahuan para santri. Sebagaimana di dalam pesantren sendiri diajarkan berbagai bidang keilmuan dari karya-karya para pemikir klasik seperti, tauhid dan tasawuf, fiqh (berikut yurisprudensinya), bahasa dan sastra (nahwu, sharaf, balaghah, ilmu ‘arudh dan qowafi), filsafat logika (mantiq), dan lain sebagainya. Para santri juga mendapatkan pendidikan akhlak (etika) tidak hanya dari berbagai literatur klasik tersebut, melainkan juga aktualisasi langsung dari sang kyai.
Secara umum, model pembelajaran di pesantren salaf (klasik) terbagi menjadi dua; model tarbiyah dan non tarbiyah. Model tarbiyah adalah model sekolah (dengan tingkat formalitas yang berbeda karena rasa kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan masih kental), sedangkan model non tarbiyah adalah model pengajian. Dalam model non tarbiyah atau pengajian terbagi lagi menjadi dua model, yaitu model bandongan dan sorogan.
Dalam model bandongan seorang santri senior membacakan dan menerangkan sebuah kitab utama sementara santri-santri yunior menyimak dan ngesahi (memaknai ala pesantren) kata perkata dari kalimat-kalimat yang ada di dalam kitab tersebut. Sedangkan model sorogan seorang santri senior menyimak bacaan santri yunior satu-persatu yang membacakan sebuah kitab di hadapannya.
Dari kedua model di atas, ada pula model pembelajaran yang merupakan gabungan dari 2 model tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk kelompok-kelompok belajar (halaqoh) yang dipimpin oleh beberapa orang santri senior.
Model pembelajaran yang diterapkan di pesantren selalu menitikberatkan pada bagaimana santri selalu berupaya untuk secara pro-aktif dan mandiri dalam mengembangkan bidang keilmuan yang dipelajari, atau bisa dikatakan model cara belajar siswa aktif (CBSA). Hal ini sangat tampak pada model sorogan, yakni santri berupaya untuk sebisa mungkin membaca dengan tepat kata perkata, dan memahami kandungan pengetahuan yang ada dalam sebuah kitab yang sedang dipelajarinya, yang selanjutnya hasil usaha pembelajaran mandirinya tersebut dibacakan di hadapan seorang santri senior untuk dikoreksi.
Secara istilah pesantren adalah lembaga pendidikan Islam dimana para santri biasa tinggal di pondok (asrama) dengan materi pengajaran kitab-kitab klasik dan kitab-kitab umum bertujuan untuk menguasai ilmu agama Islam secara detail serta mengamalkan sebagai pedoman hidup keseharian dengan menekankan pada aspek moral dalam kehidupan bermasyarakat. (Fenomena, 2005:72)
Setidak-tidaknya ada beberapa aspek yang membangun sebuah pesantren sebagaimana dipaparkan oleh Gus Dur dalam bukunya Pesantren Masa Depan, yaitu kyai, santri dan masjid. Dalam pendapat lain disebutkan, ada lima unsur yang membangun pesantren, yaitu kyai, santri, masjid, pondokan dan kitab kuning.
Kyai, sebagai pimpinan pesantren. Kyai tidak hanya menjadi sumber pengetahuan yang ditimba oleh para santri. Akan tetapi, lebih dari itu seorang kyai juga menjadi panutan teladan (uswah hasanah) bagi para santri dan masyarakat. Bahkan, kyai juga menjadi orang tua kedua bagi para santri, yang dalam bahasa pesantrennya lebih umum dikenal sebagai abu ar-ruuh (bapak ruhani) yang selalu menjadi motivasi dan spirit bagi santri untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan dan meningkatkan kemampuan diri, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik.
Di samping itu, satu hal lagi yang tidak kalah penting dari seorang kyai, yaitu kekuatan do’a. Jika kyai dianalogikan sebagai orang tua kedua (abu ar-ruuh), maka sudah pasti do’a seorang kyai untuk santrinya akan dikabulkan oleh Allah swt. Karena do’a orang tua untuk anaknya, bagaikan do’a seorang nabi untuk umatnya. Apalagi seorang kyai – dalam pandangan umum – adalah orang yang dekat dengan Allah swt. tentunya do’anya mudah untuk dikabulkan oleh-Nya.
Santri, sebagai penerima transformasi keilmuan dari kyai. Santri menjadi subyek penggodokan karakter dan life skill kyai dan pesantrennya yang kelak ketika kembali ke masyarakat juga akan menjadi transformer pengetahuan baik praksis maupun teoritis, sekaligus sebagai agent of change.
Secara umum, santri terbagi menjadi dua; santri kalong dan santri biasa. Jika santri biasa adalah santri yang tinggal di bilik-bilik pesantren, maka santri kalong adalah santri yang berangkat dari rumah ke pesantren untuk mengikuti rutinitas pendidikan dan pulang ke rumahnya setelah rutinitas pendidikan tersebut selesai.
Masjid dalam pesantren tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah akan tetapi juga sebagai pusat transformasi pengetahuan. Hal ini bisa dilihat pada masa Nabi saw. bagaimana beliau memposisikan masjid yang tidak hanya berfungsi sebagai tempat ibadah saja. Berbagai kegiatan kepesantrenan seringkali dipusatkan di masjid. Sebagai contoh muhadhoroh (pidato, ceramah), jam’iyah diba’iyah, halaqoh (kelompok belajar), syawir (musyawarah, diskusi), dan berbagai kegiatan kepesantrenan lainnya.
Pondokan sebagai salah satu unsur pesantren merupakan sebuah tempat yang digunakan sebagai tempat tinggal para santri yang menetap untuk waktu yang lama. Dalam pondokan interaksi sosial yang begitu akrab terjadi setiap hari secara inten. Rasa kebersamaan, persaudaraan, kekeluargaan begitu kuat, yang sangat terasa mulai dari kegiatan sholat, pengajian, belajar, sekolah, masak, makan. Sehingga untuk membangun sebuah persahabatan yang sangat erat, seakan-akan hanyalah pesantren tempatnya. Rasa kebersamaan, persaudaraan dan kekeluargaan ini yang menjadikan banyak para santri seakan terlupa bahwa mereka jauh dari kampung halaman, orang tua dan keluarga, bahkan karena suasana ini pula yang menjadikan mereka betah berlama-lama belajar di pesantren.
Literatur-literatur klasik di pesantren memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pembentukan keilmuan dan pengetahuan para santri. Sebagaimana di dalam pesantren sendiri diajarkan berbagai bidang keilmuan dari karya-karya para pemikir klasik seperti, tauhid dan tasawuf, fiqh (berikut yurisprudensinya), bahasa dan sastra (nahwu, sharaf, balaghah, ilmu ‘arudh dan qowafi), filsafat logika (mantiq), dan lain sebagainya. Para santri juga mendapatkan pendidikan akhlak (etika) tidak hanya dari berbagai literatur klasik tersebut, melainkan juga aktualisasi langsung dari sang kyai.
Secara umum, model pembelajaran di pesantren salaf (klasik) terbagi menjadi dua; model tarbiyah dan non tarbiyah. Model tarbiyah adalah model sekolah (dengan tingkat formalitas yang berbeda karena rasa kebersamaan, kekeluargaan dan persaudaraan masih kental), sedangkan model non tarbiyah adalah model pengajian. Dalam model non tarbiyah atau pengajian terbagi lagi menjadi dua model, yaitu model bandongan dan sorogan.
Dalam model bandongan seorang santri senior membacakan dan menerangkan sebuah kitab utama sementara santri-santri yunior menyimak dan ngesahi (memaknai ala pesantren) kata perkata dari kalimat-kalimat yang ada di dalam kitab tersebut. Sedangkan model sorogan seorang santri senior menyimak bacaan santri yunior satu-persatu yang membacakan sebuah kitab di hadapannya.
Dari kedua model di atas, ada pula model pembelajaran yang merupakan gabungan dari 2 model tersebut. Hal ini tampak dalam bentuk kelompok-kelompok belajar (halaqoh) yang dipimpin oleh beberapa orang santri senior.
Model pembelajaran yang diterapkan di pesantren selalu menitikberatkan pada bagaimana santri selalu berupaya untuk secara pro-aktif dan mandiri dalam mengembangkan bidang keilmuan yang dipelajari, atau bisa dikatakan model cara belajar siswa aktif (CBSA). Hal ini sangat tampak pada model sorogan, yakni santri berupaya untuk sebisa mungkin membaca dengan tepat kata perkata, dan memahami kandungan pengetahuan yang ada dalam sebuah kitab yang sedang dipelajarinya, yang selanjutnya hasil usaha pembelajaran mandirinya tersebut dibacakan di hadapan seorang santri senior untuk dikoreksi.
Kelebihan Pembelajaran di Pesantren
Setelah dipaparkan tentang pilar-pilar pesantren dan proses pembelajaran di dalamnya, berikut ini akan dipaparkan beberapa kelebihan pembelajaran di pesantren:
Setelah dipaparkan tentang pilar-pilar pesantren dan proses pembelajaran di dalamnya, berikut ini akan dipaparkan beberapa kelebihan pembelajaran di pesantren:
- Ilmiah-alamiah atau alamiah-ilmiah
Yang dimaksud proses pembelajaran ilmiah-alamiah atau ilmiah-alamiah di sini adalah pembelajaran yang berlangsung di pesantren selalu didasarkan pada teks-teks kitab klasik (baca: kutub turotsiyah, kitab kuning) yang dilaksanakan dalam suasana yang bernuansa tradisional dan penuh rasa kekeluargaan dan kebersamaan.
Sebagai contoh metode hapalan, dalam metode ini santri sebisa mungkin berupaya untuk menghapalkan kata-kata yang tertera dalam sebuah kitab nadzom (bait-bait sajak) yang didalamnya memuat pokok-pokok pengetahuan yang dapat digunakan sebagai acuan atau rujukan ilmiah. Demikian halnya dengan proses kegiatan belajar mengajar. Pengajian dapat dilaksanakan di kamar-kamar santri, serambi masjid, kadang menggunakan bangku kecil dengan duduk bersila. Bahkan ketika lalaran (membaca bersama secara klasikal sebuah kitab nadzom) tidak jarang dilakukan di depan halaman kelas atau kamar.
Esensi dari proses pembelajaran ini adalah proses pembelajaran dengan suasana penuh rasa kebersamaan dan kekeluargaan yang bertujuan untuk membentuk karakter-karakter ilmiah yang dibentuk secara alamiah. - Simultan dan inten
Jika sekarang banyak ditemui sekolah-sekolah dengan label full day school, maka barangkali pesantren adalah lembaga pertama yang menggunakan model pendidikan ini. Proses pembelajaran dimulai dari bangun tidur menjelang subuh, hingga akan tidur lagi, semua dilaksanakan secara simultan dan inten. - Active Self Learning (at-Ta’allum adz-Dzaati al-Fa‘-‘aal)
Sebagaimana dipaparkan di atas, modal inilah yang menjadi unggulan pesantren dalam mendidik kader-kader intelektual yang mandiri, kreatif, inofatif, kompeten dan memiliki derajat intelektual yang mumpuni. Santri selalu dididik untuk secara mandiri membangun karakter pribadi dan keilmuannya, tentunya dalam kontrol sang kyai. - Lingkungan yang agamis
Salah satu keunggulan pendidikan pesantren adalah lingkungan yang agamis. Hal ini sudah tidak diragukan lagi, karena bagaimanapun pesantren adalah bengkel pembangunan karakter yang agamis, bukan hegemonis. Pendidikan di pesantren selalu mengedepankan unsur-unsur nilai dan sikap, seperti ikhlas, tawadhu’, ikhtiar, tawakkal, dan nilai-nilai positif lainnya, yang kesemua unsur-unsur ini secara aplikatif diteladankan oleh kyai.